(2 Korintus 5:20-6:10)
Jika
suatu hari Gereja menggalang dana untuk membantu korban bencana dan meminta
baju kepada saudara, apa yang saudara lakukan? Baju seperti apa yang saudara
berikan? Baju bekas yang (menurut perasaan) masih (nampak) bagus? Baju yang
tidak muat lagi? Baju-baju di tumpukan lemari yang paling bawah? Tidak perlu
malu mengaku, sebab memang bisanya kita begitu. Hampir tidak pernah, dengan
sengaja kita membeli baju baru untuk diberikan kepada orang-orang yang
membutuhkan.
Dengan
kebiasaan-kebiasaan memberi yang seperti ini, secara tidak sadar kita
menghidupi pemahaman bahwa apa yang diberikan dengan cuma-cuma, tidak baik
kualitasnya. Kualitas nomor dua, nomor dua puluh dua, atau bahkan nomor dua
ratus dua. Ekstremnya : murahan!
Mungkin
secara tidak sadar, ketika menghayati keselamatan pemberian Allah yang
cuma-cuma itu, orang Kristen terpengaruh pada pola pemikiran tersebut. Karena
mendapatnya mudah, ya tidak perlu lah dihargai terlalu berlebihan.
Biasa-biasa saja. Atau malah, sama sekali tidak terasa. Maka jangan heran bahwa
Perjamuan Kudus, sakramen yang mengingatkan akan anugerah Allah yang telah kita
terima ini tidak membuat kita merasakan apapun, dan tidak membuat kita berjuang
memperbaiki kehidupan kita. Halah wong
biasa saja kok! Rutinitas. Kalau tidak datang, nggak enak sama Pak
Pendeta. Kalau tidak datang, kartu saya ndak
dapat stempel. Eman.
Jika
ada yang berpikir demikian, mari belajar dari Paulus dan Timotius. Kita dapat melihat
pemahaman Paulus atas anugerah keselamatan ini mulai II Kor 5: 20-6:2. Paulus sungguh-sungguh menyadari bahwa
Kristus yang tidak berdosa telah dibuat menjadi berdosa karena manusia. Ia yang
tidak seharusnya menderita, bahkan rela mati demi dosa-dosa manusia sehingga di
dalam Dia kita beroleh keselamatan.
Rasa syukur atas
keselamatan yang diterima lalu membuat Paulus dan Timotius merespon keselamatan
itu dengan mengusahakan pelayanan yang baik, dalam suka dan duka. Meski
disiksa, ditolak, dipenjara, dicurigai dan lain sebagainya, mereka tetap maju
dan melayani Allah (lih II Kor 6 : 4-10). Pelayanan mereka yang tetap teguh
dalam setiap keadaan ini memperlihatkan bahwa mereka menghargai tinggi anugerah
keselamatan. Mereka mau merespon kasih dan keselamatan Allah dengan sepenuh
hati dan bertanggung jawab. Mengeksperikannya dengan sungguh-sungguh dan penuh
semangat.
Lalu
kita bagaimana? Sudahkah kehidupan kita mencerminkan bahwa kita menghayati
anugerah kasih dan keselamatan Allah yang dicurahkan kepada kita itu sungguh
amat berharga? Tidak perlu lah
dijawab dengan kata. Buktikan saja! (vin)
0 komentar:
Posting Komentar